Belut Penyambung Hidup
“Urip niku nyadar, nrimo, ampun
gresulo, pedamelane halal sanes jupuk colong” (hidup itu sadar, menerima apa
adanya, tak boleh mengeluh. Pekerjaan yang penting halal, bukan mencuri)
Kata
kata itulah yang senantiasa mampu menguatkan seorang lelaki paruh baya yang sedari
tadi siap bergegas pulang. Ia mengemasi dua dirigen dan membersihkan
kotoran-kotoran. Kali ini , ia bertopi putih, berkaos putih dan bercelana jeans
yang nampak mulai kusam. Apa yang dikenakan, seakan tak ada yang bisa
dibanggakan. Bapak 50 tahun ini memang sehari-hari mengais rupiah di bawah
rimbunan bambu.
Bardiman
nama lengkapnnya. Bapak dua anak ini adalah warga Kentheng, Madurejo,
Prambanan, Sleman. Kesehariannya berjualan belut di tepi jalan
Madurejo-Kalasan. Sudah sejak lama hampir lima tahun. Belut, hewan sebangsa
ikan yang lebih mirip dengan ular menjadi tumpuan hidup bagi Bardiman
sekeluarga.
Photo: Iwan
Selesai Berjualan: Bardiman sehari-hari berjualan dengan sepeda kesayangannya
yang dibelinya tahun 80-an seharga 100 ribu
Mungkin
banyak orang yang geli bahkan jijik, mungkin di luar sanajuga masih ada yang beranggapan belut tak punya
gizi. Namun tidak untuk lelaki yang sedari
dulu tak sekalipun mengenyam bangku sekolah ini. “Belut itu banyak proteinnya,
bagus kalau dimakan, banyak gizi” tangkasnya.
Sehari-hari,
Bardiman mengambil belut dari pengepul. Sedari rumah, ia selalu berharap belut
senantiasa tersedia untuknya. Pasalnya akhir-akhir ini belut semakin lama
semakin menghilang, padahal musim hujan belum berlalu. Praktis jika belut ada,
senyum merekah dari balik bibirnya. Berarti hari itu bisa jualan. Berarti besok
bisa berharap bisa membeli beras untuk istri tercinta dan dua buah hatinya.
Namun jika tak menyambagi belut, bersiaplah tak jualan, tak ada pemasukan
harian. Menyusun pikiran bagaimana besok keluarganya makan, bagaimana bisa
menghutang tatangga.
Mungkin
tak banyak orang yang berprofesi seperti Bardiman. Hasil yang tak seberapa dan
bahan baku yang tak selalu ada adalah kendala mendasar. Tapi mau apa lagi,
selepas menjadi kuli bangunan yang digelutinya selama lebih dari 30 tahun,
badannya seakan tak kuat lagi memikul tumpukan batu dan gunungan pasir. Maklum
Bardiman sudah menginjak usia kepala lima. Praktis berjualan belut merupakan
solusi terbaik di tengah kehidupan yang serba sulit.
Sebenarnya,
berjualan belut bukanlah pekerjaan syarat profit. Hanya orang nrimo, ikhlas dan
tak gresulo yang selalu didengung-dengungkanlah yang mampu bertahan. Seperti hari
ini, Bardiman hanya menjual empat kg belut. Padahal per kilo hanya mengambil
untung 2 ribu rupiah. Jauh dari kata “untung besar”. Bila uang yang dihasilkan dihgunakan
untuk membeli BBM (Bahan Bakar Minyak), ternyata tak sebanding dengan harga 1
liter pertamax. Hanya bisikan hati nurani yang mampu menahan beban hidup diri
dan keluarganya.
Belut..belut..belut..
hewan yang susah ditangkap dan suka sekali dengan lumpur. Teramat berharga bagi
Bardiman. Benar-benar ibarat sebuah nyawa, jika belut dari pengepul tersedia
berarti dirinya berjualan. Sebaliknya jika tak ada belut, bersiap tak punya
penghasilan. Tanpa belut, sandarannya hanyalah kata-kata bijak penguat hati.
Hidup nrimo, tanpo gresulo.
Lima
tahun terakhir, belut semakin lama seperti semakin menghilang saja. Karuan, tak
bisa dilepaskan oleh ulah para elite. Pembangunan gedung yang semakin menggila,
menjadikan belut kehilangan rumah-rumahnya. Jika pemerintah tak tanggap, lambat
laun tamatlah pekerjaan Bardiman dan kawan seprofesinya. Pada akhirnya, tanda-
tanda angka kemiskinan akan semakin bertambah.
Stop pembangunan, biarkan sawah menghampar,
maka Bardiman akan selalu tersenyum.
Ikhwanudin/
Mahasiswa UMBY